4 Aliran dalam teori pembelajaran.

Ini dia ada 4 aliran pembelajaran yang mungkin dibutuhkan oleh teman-teman semua...@susiindahnyaberbagi..di share aja..



1.    1.  Ringkasan teori belajar dari 4 Aliran.
2.    2. Penerapan Pembelajaran Matematika  berdasarkan tahap perkembangan mental anak menurut piaget ( pilih salah satu tahapan kemudian jelaskan  cara pengajarannya ).

 Jawab
Soal Nomor 1

1.      4 Teori belajar menurut aliran :
Aliran teori Belajar Matematika :
1.      Aliran Latihan Mental
·         Otak seperti otot berdiri dari gumpalan-gumpulan yang disubut fakulti-fakulti.
·         Agar otak kuat perlu latihan keras.
·         Bahasa latin dan matematika cocok untuk melatih otak anak
Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Aliran ini dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor yang penting dalam aliran ini adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Prinsip aliran ini  meliputi :
 (1) Reinforcement and Punishment;
(2) Primary and Secondary Reinforcement;
(3) Schedules of Reinforcement;
(4) Contingency Management;
(5) Stimulus Control in Operant Learning;
(6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
2.      Aliran Pengaitan (Connectionism)

·         Melatih otak dengan pengaitan dengan konsep yang sudah dikenal anak.
·         Makin kuat kaitan maka makin baik untuk belajar.
·         Pengajaran harus dilatih hapalkan.

Menurut Thorndike, salah satu pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses interaksi antara Stimulus dan Respon (mungkin berupa pikiran, perasaan atau gerakan) dan respon (bisa berbentuk pikiran, perasaan atau gerakan, jelasnya menurut Thorndike, perubahan tingkah laku itu berupa wujud sesuatu yang kongkrit (dapat diamati) atau yang non konkret (tidak bisa diamati).
Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana cara mengukur berbagai tingkah laku yang non konkrit itu ( pengukuran adalah suatu hal yang menjadi obsesi semua penganut aliran tingkah laku) tetapi teori Thorndike ini telah banyak memberikan insprirasi kepada pakar lain yang datang sesudahnya.
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme.
3.      Aliran Pendidikan Progresif (Dewey)
·         Siswa belajar sesuai kebutuhan
·         Guru sebaiknya menunggu siswa untuk siap belajar
·         Hasil belajar siswa lebih baik bila sesuatu diajarkan tidak secara sistematik
Teori kognitif John Dewey dapat diaplikasikan dalam pembelajaran siswa khususnya pada pembelajaran kognitif. Pembelajaran kognitif menekankan pada keaktifan siswa dalam berpikir untuk memecahkan masalah dengan cara merekonstruksi masalah dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah didapat. Hal ini tentunya akan melatih siswa untuk berpikir secara rasional dalam memecahkan masalah. Proses pembelajaran kognitif harus dilakukan secara berkelanjutan agar ada perkembangan dalam kemampuan berpikir siswa.
Tahap premoral.
Tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial.
Tahap convention.
Seseorang mulai bisa menerima nilai dengan sedikit kritis  kepada kriteria kelompoknya.
Tahap autonomous.
Seseorang sudah mulai bisa berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
John Dewey tidak hanya mengembangkan teori konstruktivistik yang terangkum dalam teori kognitif tetapi juga mengembangkan teori perkembangan moral peserta didik. John Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahapan, yaitu tahap premoral atau preconventional, tahap conventional, dan tahap autonomous (Dwi Siswoyo dkk, 2011 dalam Just Wear Enoegayya, 2012). Selanjutnya John Dewey (Dwi Siswoyo dkk, 2011 dalam Just Wear Enoegayya, 2012) menjelaskan beberapa tahapan yang dikemukakan, yaitu:
1.      Tahap premoral. Tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial.
2.      Tahap convention. Seseorang mulai bisa menerima nilai dengan sedikit kritis berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
Tahap autonomous. Seseorang sudah mulai bisa berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya
Perkembangan moral peserta didik sangat berhubungan dengan teori  kognitif. Hal ini dapat dilihat dalam teori perkembangan moral peserta didik, seseorang mengalami beberapa tahap dalam bertingkah laku di lingkungan sosial atau kelompoknya dan hal ini akan membawa pengalaman dan memberi pengetahuan pada siswa tersebut. Teori kognitif  pada dasarnya membahas faktor-faktor kognisi yang berhubungan dengan jiwa atau kondisi psikologi seseorang. Definisi dari kognisi yaitu suatu proses atau upaya manusia dalam mengenal berbagai macam stimulus atau informasi yang masuk ke dalam alat inderanya, menyimpan, menghubung-hubungkan, menganalisis, dan memecahkan suatu masalah berdasar stimulus atau informasi tersebut. Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Wear Enoegayya, 2012).
Pengertian tersebut mengandung arti bahwa gejala kognisi sering dikaitkan dengan proses belajar seseorang yang didapat dari pengamatan termasuk pengalaman dan melalui alat indera hingga pada akhirnya dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Sugihartono dkk, 2007 dalam (Just Wear Enoegayya, 2012) menjelaskan yang termasuk gejala pengenalan adalah penginderaan dan persepsi, asosiasi, memori, berpikir, dan intelegensi. Salah satu faktor-faktor kognitif yang paling berpengaruh terhadap proses pembelajaran seseorang adalah berpikir.

Salah satu bentuk berpikir adalah reasoning. Reasoning adalah bentuk berpikir di mana kemungkinan-kemungkinan pemecahan ditimbang-timbang secara simbolis. Dimyati, 1990 dalam (Just Wear Enoegayya, 2012). Menurut John Dewey, Reasoning itu adalah serangkaian langkah yang berurutan dan langkah-langkah itu antara lain (Dimyati, 1990 dalam Just Wear Enoegayya, 2012):
1.      Maladjusment. Orang yang dimotovir menghadapi suatu rintangan (menghadapi problem).
2.      Diagnosis. Orang itu melokalisir sumber problimnya dan mempertimbangkan strukturnya. Langkah ini menyangkut kemampuan analisis untuk mengabstraksi dan membentuk konsep.
3.      Hipotesis. Orang itu membuat satu atau lebih dugaan. Langkah ini menyangkut imajinasI kreatif.
4.      Deduksi. Orang itu berusaha menentukan bahwa dugaannya itu akan benar. Langkah ini menyangkut logika dan pengalaman.
5.      Verifikasi. Orang itu mengecek langkah keempat dengan fakta-fakta yang ada. Langkah ini menyangkut sampling dan eksperimen.
Menurut John Dewey dalam (Anwar Holil, 2008) metode reflektif di dalam memecahkan masalah, yaitu suatu proses berpikir aktif, hati-hati, yang dilandasi proses berpikir ke arah kesimpulan-kesimpulan yang definitif melalui lima langkah.
·         Siswa mengenali masalah, masalah itu datang dari luar diri siswa itu sendiri.
·         Selanjutnya siswa akan menyelidiki dan menganalisa kesulitannya dan menentukan masalaH yang dihadapinya.
·         Lalu dia menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya itu atau satu sama lain, dan mengumpulkan berbagai kemungkinan guna memecahkan masalah tersebut. Dalam bertindak ia dipimpin oleh pengalamannya sendiri.
·         Kemudian ia menimbang kemungkinan jawaban atau hipotesis dengan akibatnya masing-masing.
Selajutnya ia mencoba mempraktekkan salah satu kemungkinan pemecahan yang dipandangnya terbaik. Hasilnya akan membuktikan betul-tidaknya pemecahan masalah itu. Bilamana pemecahan masalah itu salah atau kurang tepat, maka akan di cobanya kemungkinan yang lain sampai ditemuka pemecahan masalah yang tepat. Pemecahan masalah itulah yang benar, yaitu yang berguna untuk hidup

4.      Aliran Pengertian dan Belajar Bermakna (Gestalt)
·         Pengajaran ditekankan pada pengertian dan belajar bermakna
·         Belajar itu proses yang bermakna.
Belajar bermakna melahirkan gejala penghayatan yang berbeda dengan unsur unsur yang membentuknya. Gejala tersebut tidak dapat dijelaskan melalui analisis atas unsun-unsur, meskipun hasil gejala tersebut adalah dari unsur-unsur bagian tersebut. Jadi penghayatan psikologis adalah hasil bentukan dari unsur – unsur pengindraan, ia berbeda antar pengalaman phenomenologis dengan pengalaman pengindraan yang membentuknya. Gestalt mengatakan bahwa organism menambahkan sesuatu pada penghayatan yang tidak terdapat didalam pengindraannya, maka sesuatu adalah organisme.
Dari sumber lain dengan gaya bahasa yang berbeda dapat dibaca pendapat gestalt sebagai berikut, bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan yang terorganisir, bukan dalam bagian yang terpisah. Menurut gestalt, semua kegiatan belajar menggunakan pemahaman terhadap hubungan – hubungan, antara bagian atau keseluruhan, tingkat kejelasan atau keberartian dari apa yang diamati dalam situasi belajar adalah lebih mening-katkan belajar seseorang dari pada dengan hukuman dan jajaran.
a.    Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
b.    Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
c.      Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
d.      Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
e.      Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Jadi menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
2.      Jawab Soal nomor 2

Tahapan perkembangan anak menurut J. Piaget :
1.      Sensori Motor ( Lahir – 2 Tahun )
2.      Preoperasi ( 2 – 7 Tahun)
3.      Operasi Konkrit (7 – 11 Tahun)
4.      Operasi Formal (11 Tahun – Dewasa)
Dari keempat tahapan perkembangan Piaget di atas maka penulis memilih tahapan Operasi Formal (11 Tahun – Dewasa), karena sesuai dengan keadaan siswa yang diajar yaitu siswa setingkat SMA/MA yaitu penulis guru di MAN 2 Kota Bengkulu.
            Tahap Operasi Formal (11 Tahun – Dewasa).

Pada Masa Operasional Formal (11 Tahun – Dewasa) menurut J. Peaget anak mampu :
·         Menggunakan operasi-operasi konkrit untuk membentuk operasi-opersai yang lebih kompleks.
·         Berfikir secara abstrak
·         Berfikir secara nalar yang tinggi
·         Memecahkan masalah secara verbal
·         Berfikir secara hipotesis – deduktif.
Mampu merumuskan banyak alternatif  hipotesis dalam menanggapi masalah dan mengecek data  terhadap semua hipotesis untuk membuat keputusan yang layak.
·         Berfikir proposional
·         Berfikir Kombinatorial, pada proses ini berfikir pada semua kombinasi benda-benda, gagasan-gagasan atau proposisi-proposisi yang mungkin.
·         Berfikir reflektif

Pada tahap Operasi Formal ini kemampuan anak sudah melebihi kemampuan tahapan yang lainnya, dimana anak atau siswa yang menjadi sasarannya adalah anak usia 11 – Dewasa. Di usia ini anak atau siswa berada di tingkat pertama atau atas disekolahnya, yaitu tingkat SMP/MTs ataupun SMA/MA.
Siswa yang dipilih sesuai penjabaran diatas adalah tingkat  SMA/MA, yaitu MAN 2 Kota Bengkulu.

Cara pengajaran tingkat SMA/MA berdasarkan Operasional Formal   yaitu :

Seorang guru memberikan pembelajaran kepada siswanya, dan pada saat proses pembelajaran berlangsung sang guru dapat menjelaskan materi pelajaran sesuai dengan tingkatan kelasnya. Misalnya materi yang diajarkan adalah materi Persamaan Kuadrat, jadi pada saat proses pembelajaran ini guru menjelaskan Persamaan Kuadrat.
Adapun tahapan operasional formal dalam pengajaran ini terlihat pada siswa yang mengalami pengajaran yaitu mengalami beberapa ciri-ciri pada  tahapan ini. Seperti :
·         Menggunakan operasi-operasi konkrit untuk membentuk operasi-opersai yang lebih kompleks.
Contoh dalam pengajaran Persamaan Kuadrat yaitu :
Menentukan akar-akar persamaan kuadrat seperti :
X2 + 3X  + 2 = 0, tentukanlah akar-akarnya :
Dari soal tersebut  siswa dituntut harus mampu menentukan akar-akar persamaak kuadrat tersebut. Dimana proses menentukan akar siswa haruslah bisa menggabungkan operasi-operasi. Operasi pemecahan masalah persaman kuadrat tersebut diperlukan operasi perkalian, penjumlahan, dan pengurangan.

·         Berfikir secara abstrak
Siswa memahami hal-hal yang abstrak dalam pembelajaran. Dalam Persamaan Kuadrat  berfikir secara abstrak dapat dicontohkan pada saat siswa menentukan akar-akar persamaan kuadrat yang diperoleh dalam bentuk akar yang  imajiner. Contoh Persamaan kuadrat :

4X2 + 3X + 3 = 0,

            Maka akar akar  nya dapat ditentukan dengan :
            X1.2 =    =  ....               
            Dari soal    4X2 + 3X + 3 = 0 dapat  distubstitusikan sehingga mengandung unsur .   
Dari bagian proses pengerjaannya diatas terlihat akar yang akan dihasilkan adalah imajiner sehingga inilah bagian keabstrakkan perfikir siswa yang dimilikinya pada tahapan operasi formal ini. 
·         Berfikir secara nalar yang tinggi
Siswa dalam memecahkan masalahnya terutama dalam menyelesaikan masalah materi Persamaan Kuadrat sudah dapat menentukan arah pertanyaan yang diinginkan. Pada saat inilah siswa menggunakan kemampuan penalaran yang dimilikinya. Hal ini tentunya tercipta dengan bantuan guru yang memberikan latihan ke pada siswa berupa soal yang membutuhkan penalaran yang tinggi.
Contoh dalam persamaan kuadrat guru dapat memberikan soal cerita yang menggambarka grafik persamaan kuadrat seperti :
Contoh soal :
Seorang siswa melemparkan sebuah batu dengan membentuk lintasan parabola, dengan posisi anak berdiri sejajar dengan tiang yang memiliki tinggi 6 meter yang sebagai pusat koordinat nantinya. Jika puncak lintasan mencapai ketinggian yang sejajar dengan tinggi pohon yaitu 9 m maka tentukanlah bentuk persamaan kuadrat tersebut ?...

Jawab :
Pada saat proses penyelesainnya siswa haruslah bisa menggunakan daya nalarnya yang tinggi yaitu membayangkan lintasan batu yang membentuk parabola dengan membuat sketsa lintasan tersebut sehingga akan dapatmembantu menentukan titik puncak dan persamaan kuadrat pun dapat ditentukan.
·         Berfikir secara hipotesis – deduktif.
Mampu merumuskan banyak alternatif  hipotesis dalam menanggapi masalah dan mengecek data  terhadap semua hipotesis untuk membuat keputusan yang layak.
·         Berfikir proposional
Siswa mampu mengungkapkan yang bukan fakta, artinya dapat menentukan salah benarnya suatu masalah khususnya materi persamaan kuadrat.
·         Berfikir Kombinatorial, pada proses ini berfikir pada semua kombinasi benda-benda, gagasan-gagasan atau proposisi-proposisi yang mungkin.
·         Berfikir reflektif
Siwa mampu menjelaskan kembali proses yang dialaminya atau dilakukannya pada saat belajar sehingga menemukan hasil dari permasalahan atau dari soal yang diberikan.
Jadi proses pengajaran yang diberikan oleh guru pada saat proses operasi formal ini adalah memberikan pengajaran yang dapat membuat anak berfikir konkrit, abstrak, menalar tinggi, proposional, kombinatorial, reflektif dan hipotesis-deduktif. Proses ini dapat ditimbulkan dengan  rangsangan yang diberikan oleh guru pada saat proses pembelajaran yang berlangsung di kelas.

DAFTAR PUSTAKA


Ratna Wilis Dahar. 1989. Teori-Teori belajar. Jakarta. Erlangga
Hatim Riyanto. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran.Surabaya. Kencana
Sulistiyono. 2012. Seri Pendalaman Materi Matematika Program IPA. Jakarta. Esis.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PSIKOLOGI KOGNITIF

Modul Ajar Komposisi Fungsi dan Fungsi Invers Kelas XI Kurikulum Merdeka